Saripin, Sang Legenda Batu Akik Kalimaya

Saripin, Sang Legenda Batu Akik Kalimaya

Tubuhnya hanya setinggi 160 sentimeter. Perawakannya pun tidak besar. Namun nama pria berkulit sawo matang yang kini berusia 67 tahun itu begitu dikenal di Kecamatan Sajira.

Pria itu bernama Saripin. Ia sehari-hari mencari batu Kalimaya, batu khas Banten, di wilayah Desa Pejagan, Kecamatan Sajira, Lebak, Banten. Menurut sejumlah penambang batu Kalimaya yang sempat kami temui di Desa Pejagan, hanya Saripin yang bisa bertahan selama tiga hari tiga malam di dalam lubang mencari batu.

Dan Saripin sering naik-turun di lubang hanya dengan tangan kosong alias tidak memakai tali pengikat sebagai pengaman. “Dia (Saripin) naik dari lubang merayap seperti cecak. Kalau sudah di lubang, dia meliuk seperti buaya,” kata Soleh, seorang petugas keamanan Pejagan, saat mendampingi tim detikXpedition ke area tambang batu Kalimaya.

Karena kemampuannya itu, Soleh menyebut Saripin layaknya legenda bagi para penambang batu Kalimaya di Kecamatan Sajira. Sebab, sampai saat ini belum ada yang menyamai rekor yang ditorehkan Saripin dalam mencari batu akik itu.

Batu Sempur, salah satu koleksi Saripin
Batu Sempur, salah satu koleksi Saripin

Saripin pulalah yang mengenalkan metode stek kepada para penambang di Sajira. Metode ini berupa pemasangan kayu atau bambu yang disusun terkait dan dipasang pada dinding lubang.

Cara stek ini bertujuan menghindari longsor jika tanah tidak stabil, sehingga penambang terhindar dari bahaya longsor.

Penasaran terhadap perkataan Soleh, kami pun mendatangi kediaman Saripin di Desa Mekarsari, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, untuk berbincang-bincang. Beruntung, Saripin sedang berada di rumah. Sebab, biasanya pria paruh baya itu berada di lubang galian hingga berhari-hari.

Bahkan tahun lalu, selama setahun penuh dia berada di lubang, dari lubang di Kampung Cimalingping, Sepang, hingga Gedong. “Setahun saya jalani tanpa libur. Sekarang kalau malam Jumat, saya memang libur. Hari Sabtu baru berangkat lagi ke lubang,” ujarnya ramah.

Saripin mengaku menambang batu Kalimaya sejak awal 1950-an, yakni saat masih berusia 6 tahun. Saat itu ia membantu ayahnya mencari batu. Sejak masih kecil, aktivitas Saripin hanya diisi dengan membantu ayahnya mencari batu Kalimaya dan menggembala kerbau.

Saripin menunjukkan salah satu koleksi batunya
Saripin menunjukkan salah satu koleksi batunya

Saripin tidak pernah mengenyam bangku sekolah lantaran saat itu tidak ada sekolah yang berdiri di wilayah tersebut. Sekolah terdekat berada di Rangkasbitung, yang berjarak 22 kilometer.

Ramidi, ayah Saripin, dulu bekerja untuk pria asal Belanda, yang dikenal bernama Bluknur. Namun waktu itu orang-orang di Pejagan selalu memanggil orang Belanda itu dengan sebutan “Tuan”.

Lubang pertama yang digali Ramidi berada di Blok Cinuriman, Kampung Cisuwuk, Pejagan. Setelah itu, bergeser ke Cimalingping, yang masih berada di Desa Pejagan. Seingat Saripin, saat bekerja kepada orang Belanda, per hari ayahnya digaji 1 ringgit plus sebungkus rokok cap Gentong.

Selain ayahnya, ada warga Pejagan bernama Abdul Manaf, Jamii, dan Sakilan, yang ikut menjadi buruh harian mencari batu Kalimaya atas perintah Bluknur.

Setelah Belanda angkat kaki dari Indonesia, empat orang inilah yang jadi pionir penambang lokal hingga turun-temurun di Desa Pejagan. Adapun Saripin mulai secara mandiri menggali lubang sendiri sejak zaman Sukarno. Saat itu usianya belasan tahun.

Lubang tambang batu Kalimaya

“Waktu bujangan, saya sudah punya lubang sendiri. Dulu itu menggalinya nggak sampai dalam, hanya 1 meteran. Kalau sekarang sudah mencapai puluhan meter dalamnya,” tutur Saripin, yang masih terlihat bugar.

Saat ini, kedalaman lubang tambang milik Saripin mencapai 60 meter. Lubang yang berada di wilayah Kampung Sopang ini merupakan rekor terdalam di antara lubang-lubang lain di Sajira.
Dulu, untuk menjual hasil tambangnya, Saripin harus pergi ke Batu Ceper, Jakarta. Sebab, pada 1960-an, daerah itu merupakan sentra batu akik.

Harga jual Kalimaya saat itu Rp 10 ribu untuk ukuran batu cincin. Harga tersebut tergolong mahal mengingat pada waktu yang sama harga 1 gram emas masih Rp 500.

Batu Kalimaya telah diproses

Pada 1990-an, Saripin melebarkan pasarnya ke Jatinegara, Jakarta Timur, yang saat ini dikenal sebagai pusat penjualan batu akik terbesar di Indonesia. Karena batu yang dijual Saripin memiliki kualitas bagus, namanya pun terkenal di kalangan tengkulak atau pedagang batu, khususnya Kalimaya.

Bahkan sepuluh tahun belakangan, Saripin tidak perlu lagi pergi ke Jakarta untuk menjual batu. Sebab, para pedagang atau pembelilah yang berbondong-bondong datang ke lubang milik Saripin.

“Begini, Pak, kalau saya turun ke lubang, calon pembeli itu nggak akan pulang sebelum saya naik. Kata mereka, kalau saya sudah turun, pasti naik ke atas itu bawa batu,” katanya.

Saat ditanya pengalamannya selama tiga hari penuh di dalam lubang, Saripin menjawab sambil tertawa. “Iya… ha-ha-ha…. Pas waktu muda, saya tiga hari tiga malam di lubang. Makan-minum dimasukin aja ke bawah. Nggak tidur, pakai petromaks saja kalau malam,” ujar Saripin.

Personel tim detikXpedition memegang batu Sempur milik Saripin.

Selama tiga hari itu Saripin berada di lubang dengan kedalaman 47 meter. Dasar lubang itu dia buat menjorok ke samping dengan ketinggian 1,3 meter dan lebar 1,5 meter. “Buang hajat juga di situ saja, ha-ha-ha…,” imbuhnya.

Karena Saripin punya kemampuan mumpuni dalam mencari batu Kalimaya, tidak jarang banyak aparat kepolisian yang minta batu hasil tambangnya. Bahkan sejumlah polisi sering ke lubang tambang miliknya untuk minta batu.

“Saya nih, kalau pakai batu sendiri, suka dimintain aparat, ha-ha-ha…. Jadi jarang sampai lama saya pakai batu Kalimaya,” ucap pria beristri dua beranak enam tersebut.

Sampai saat ini Saripin tidak mengerti kenapa namanya begitu terkenal di Kecamatan Sajira hingga Kecamatan Maja, yang masyhur sebagai lokasi penambangan batu Kalimaya di Lebak. Setiap dia melintas di wilayah Sajira dan Maja, ada saja orang yang menyapanya. Apalagi jika orang tersebut mengenal batu Kalimaya, baik penambang maupun pedagang.

Bahkan, pascalongsornya sebuah lubang di Cimalingping pada 6 Juni 2015, yang menewaskan seorang penambang bernama Makmun, 60 tahun, warga Karoya RT 07/03 Desa Mekarsari, Kecamatan Sajira, hanya lubang milik Saripin yang tidak ditutup. Semua lubang milik penambang lain di Cimalingping ditutup dan diberi garis polisi.

Saat ini Saripin membatasi waktunya untuk menambang Kalimaya. Sekarang dia lebih sering menghabiskan waktu berkebun singkong dan menanam padi. Adapun lubang di Kampung Sepang, Desa Pejagan, hanya beberapa hari dalam sepekan dimasuki. Apalagi sekarang masih banyak air di dalam lubang.

 

Baca juga : Heboh! Batu Bacan ini Dibeli Kolektor Arab Rp 88 Juta

 

 

Sumber berita Saripin, Sang Legenda Batu Akik Kalimaya : detik

%d blogger menyukai ini: