Denyut Prostitusi dan Pertarungan Melawan HIV AIDS di Merauke
Denyut Prostitusi dan Pertarungan Melawan HIV AIDS di Merauke
Merauke dikabarkan menjadi tempat pertama penyebaran HIV AIDS di Bumi Cenderawasih. Pertarungan melawan virus mematikan itu telah berlangsung sejak lama di Papua. Bagaimana hasilnya?
Kawasan tapal batas negara ini punya cerita soal awal mula HIV di Papua, suasana prostitusi dan gaya hidup para awak kapal menjadi latar belakang kisah ini. Tersebutlah seorang nelayan dari negeri seberang datang ke tanah ini, tahun 1992.
“AIDS masuk ke Papua pertama kali dideteksi di Merauke, lewat nelayan yang berasal dari luar negeri, Thailand, yang sandar di Merauke dan menjadi transmisi penularan ke masyarakat setempat,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke, dr Adolf JY Bolang, kepada detikcom di kantornya, Jl Garuda Mopah Lama, Merauke, Papua, Jumat (12/5/2017).
Setelah diadakan tes darah, hasilnya menunjukkan ada nelayan Thailand positif mengidap HIV. Mereka melakukan kontak kelamin dengan pekerja seks komersial (PSK) di Merauke. Maka sejak saat itu, menyebarlah HIV di seantero Papua.
Cerita itu sempat jadi perbincangan yang mengemuka, apalagi membawa-bawa pihak luar negeri segala. Yang jelas sejak saat itu angka kematian akibat HIV AIDS muncul. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke menunjukkan dari 1992 sampai 1999 sudah ada 80 orang meninggal akibat HIV AIDS. Pengidap HIV AIDS pada rentang waktu itu sebanyak 185 orang.
“Transmisi paling banyak lewat kontak seksual,” kata Adolf.
Pemerintah mengimbau agar masyarakat takut kepada Tuhan, tak melakukan hubungan seks di luar nikah, dan setia pada pasangan hidup. Peringatan bernafas religius ini tertulis di lembar sosialisasi.
Selain itu, mereka bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melakukan penyuluhan, mengadakan pemeriksaan terhadap ibu hamil untuk mendeteksi HIV, penyediaan obat antiretroviral di rumah sakit, pemeriksaan Infeksi Menular Seksual (IMS) di tempat hiburan malam per bulannya, hingga kampanye penggunaan kondom untuk kelompok berisiko tertular HIV AIDS.
PSK adalah kelompok berisiko di konteks ini. Dalam peperangan melawan HIV AIDS, para PSK diberi pemahaman soal pentingnya penggunaan kondom supaya virus tidak menyebar ke mana-mana. Hal ini perlu agar jangan sampai ibu rumah tangga baik-baik malah kena AIDS gara-gara suaminya sering menggunakan jasa PSK. Jangan sampai pula anak bayi lahir dalam kondisi tertular HIV AIDS gara-gara polah rahasia bapak atau ibunya. Itu sekadar permisalan.
Kondom menjadi senjata menekan penyebaran HIV AIDS di Bumi Manusia Sejati, julukan Merauke. Di salah satu lokasi yang terkenal sebagai pusat prostitusi Merauke, terlihat berbagai spanduk, poster, dan stiker tentang pentingnya penggunaan kondom. Termasuk tempelan dari produsen-produsen kondom juga ada di sana-sini.
Di atas tanah cokelat kemerahan, terlihat beberapa anak kecil lalu-lalang bermain. Di sekeliling area ini adalah rumah-rumah karaoke dan kamar-kamar mesum. Logat-logat Jawa terdengar jelas tiap kali para perempuan di sini berbicara dengan sesamanya. PSK di sini kebanyakan berasal dari Jawa.
Kawasan prostitusi ini adalah Rukun Tetangga (RT) tersendiri di sudut kota. Konsumennya mulai dari pendatang, orang asli Merauke, pegawai, hingga aparat negara. Hal ini dituturkan oleh salah seorang PSK di situ.
“Tamunya ya macam-macam, semua profesi ada,” kata PSK umur 30 tahun asal Jombang Jawa Timur.
Para PSK mengaku selalu meminta tamunya memakai kondom, meski terkadang pria-pria hidung belang itu menawarkan duit lebih tiga kali lipat bila mereka bersedia beraktivitas tanpa kondom.
“Pernah ada yang (kondomnya) dipakai terus disobek. Wah tak tendang, dia telanjang jatuh ke luar pintu. Ketimbang saya kena penyakit, ya to? Saya ini kerja kok,” ujar PSK ini. Jarak antara ranjang dengan pintu kamar di bangunan kayu ini memang sangat mepet.
PSK asal Jepara, usia 24 tahun, juga menyatakan hal yang sama. Memang konsumen banyak yang ngeyel, kadang-kadang. Selama ini dia masih bisa menolak baik-baik tamu yang ngeyel.
“Bahkan kalau orangnya nggak sopan, apalagi mabuk, saya tolak,” ujarnya.
Rata-rata PSK menceritakan hal yang sama. Tertutur pula cerita-cerita melodramatik tentang latar belakang dan kondisi hidup mereka. Namun salah seorang aktivis penanggulangan HIV-AIDS yang sudah tahu betul seluk-beluk mereka, menasihati saya untuk tidak mudah percaya dengan cerita sedih yang dituturkan para PSK.
Ada LSM bernama Yayasan Santo Antonius (Yasanto) yang dikenal telah lama berkecimpung di bidang ini sejak 1995. Mereka menaruh perhatian pada upaya penanggulangan hingga pendampingan kelompok rentan terkena HIV AIDS. Hingga saat ini, Yasanto bekerjasama dengan Pemkab Merauke, dan dulu mereka juga sempat bekerjasama dengan lembaga donor dari luar negeri seperti AusAID, USAID, Oxfam, hingga UNDP.
Staf Lapangan Divisi Sosial Kemasyarakatan Bagian Pencegahan HIV AIDS Yasanto, Antonius Sunardi, menjelaskan di Merauke ada dua tempat prostitusi, juga terdapat hiburan malam seperti bar, kelab malam, karaoke, dan panti pijat yang memuat jasa birahi, ada yang terselubung dan ada yang terang-terangan.
“Total ada 180 orang PSK di Merauke. Namun jumlah itu naik-turun. Biasanya datang orang-orang baru sehabis lebaran,” kata Anton, sapaan Antonius Sunardi.
Dia menjelaskan latar belakang para PSK beragam, ada yang memang sudah niat dari awal kerja sebagai PSK, ada yang bekerja sebagai PSK tanpa sepengetahuan keluarga di rumah, ada yang berasal dari calon Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang tak jadi berangkat ke luar negeri, ada pula transmigran gagal kemudian menjadi PSK liar.
Kelompok rentan ini didampingi dan ditanggulangi supaya tidak menjadi penyebar penyakit menular seksual. Tentu peperangan melawan HIV AIDS bukan bermakna peperangan melawan penderita penyakit itu.
Penyuluhan agar para PSK memakai kondom, supaya tidak menularkan penyakit lewat kontak seks, tidak selalu mudah. Anton sudah bekerja di lapangan sejak 2002, menceritakan dulu dia menghitung satu per satu kondom bekas pakai yang dibuang di tempat sampah. Jumlah kondom bekas itu dia cocokkan dengan jumlah pria yang datang.
“Tahun 2004 sampai 2005, aku hitung kondom bekas, serius, pakai sarung tangan. Saya hitung satu-satu. Soalnya segala metode sudah diterapkan tapi angka IMS (Infeksi Menular Seksual) tinggi terus,” tutur Anton.
Metode manual ini tentu ‘super duper hyper ultra’ menjijikkan bagi orang awam. Dua hari sekali Anton menghitung kondom-kondom yang kotor itu. Namun cara itu tak dilakukannya lagi kini. Lama-kelamaan, para PSK sadar bahwa aktivitas Anton tidak main-main, ini menyangkut kesehatan mereka dan masyarakat luas. Kesadaran soal pentingnya penggunaan kondom mulai tumbuh. Sekarang cara menghitung tingkat kepatuhan PSK terhadap pemakaian kondom diukur dari formulir yang mereka isi.
“Kan kita ada monitoring kondomnya, setiap minggu. Ada form-nya. Itu memang membutuhkan kejujuran sih. Berhubungan seks berapa kali, makai kondom berapa. Ditulis semua,” tuturnya.
Hasil formulir itu jujur atau tidak, akan terbukti saat pemeriksaan rutin per bulan yang dijalankan pemerintah. Bila ada yang masih kena IMS, maka dipastikan mereka tak menggunakan kondom.
Kondom juga pernah dibagikan gratis untuk PSK, yakni pada 2015-2016. Anton menyebut saat itu sedang ada bantuan dari Bank Dunia. Waktu berjalan, bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Pusat Kesehatan Reproduksi (PKR) Merauke, dan Yasanto kemudian menjual kondom dengan harga murah. Ini untuk menumbuhkan kesadaran agar para PSK tak hanya mengandalkan kondom gratis.
“Kita jaga di saat kondom gratis nggak ada, mereka sudah bisa beli kondom sendiri dengan harga yang lebih murah. Sampai sekarang,” kata Anton.
Bagaimana hasil dari kerja-kerja penanggulangan HIV AIDS di Merauke secara umum? Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Merauke, terjadi fluktuasi jumlah pengidap HIV AIDS di Merauke per tahunnya, sejak tahun 2000 hingga 2016. Berikut adalah data itu, terakhir tercatat data sampai Maret 2017:
Total sejak 1992 sampai Maret 2017, sudah ada 1.063 orang pengidap HIV dan 902 yang mengalami AIDS, alias total keduanya berjumlah 1.990. Total jumlah orang meninggal di Merauke akibat HIV AIDS adalah 551 jiwa. Rata-rata dari 1.990 orang pengidap HIV AIDS, yakni 56,4 persen, berusia 25 sampai 49 tahun. Bila dikategorisasi berdasarkan jenis kelamin, 48,5 persen pengidap HIV AIDS adalah perempuan, 48,2 persennya adalah laki-laki, sisanya belum diketahui.
Ada 18,6 persen dari 1990 orang pengidap HIV AIDS adalah ibu rumah tangga. 12,9 Persen berprofesi sebagai perempuan PSK.11, 2 Persen petani. 10,5 Persen swasta. 7 Persen PNS. Sisanya ada yang berprofesi sebagai buruh, swasta atau mahasiswa, nelayan tenaga kerja asing,TNI atau polisi, nelayan anak buah kapal, PSK jalanan, dan muncikari.
Provinsi Papua dan Papua Barat memang menjadi kawasan tertinggi dalam hal jumlah penderita HIV/AIDS. Dulu Merauke pernah menjadi kawasan dengan jumlah pengidap HIV/AIDS tertinggi di Papua. Ketua Yasanto, Leonardus Mahuze, menyatakan ada hasil positif sebagai akibat dari kerja-kerja penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan berbagai pihak.
“Di Merauke akhirnya mulai berkurang, pertambahannya tak terlalu cepat seperti tahun ’90-an. 2017 ini, Merauke menempati peringkat enam, bukan lagi peringkat pertama dalam dalam hal jumlah kasus HIV/AIDS,” kata Leonard, sapaan karibnya.
Leonard menjelaskan Yasanto memang mendapat anggaran dari Pemkab Merauke, Rp 1 miliar untuk setahun kegiatan. Yasanto punya tempat perlindungan (shelter) bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Saat ini ada 12 pasien di shelter.
Prostitusi adalah penyakit masyarakat yang mendorong maraknya penyebaran HIV/AIDS. Para pegiat penanggulangan HIV/AIDS sadar bahwa tak mudah menghentikan dalam sekejap penyakit masyarakat itu. Namun pertarungan bersenjatakan kondom adalah upaya yang paling mungkin dilakukan untuk menekan angka HIV/AIDS.
Ada Peraturan Daerah Kabupaten Merauke Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual HIV/AIDS. Pada Pasal 10 huruf a dijelaskan soal kewajiban memakai kondom bagi setiap orang yang berganti-ganti pasangan seksual. Ancaman pidana diatur pada Pasal 34 ayat (1). Bagi yang tidak memakai kondom maka bisa dipidana kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta.
Pada Pasal 9 diatur bahwa pengelola tempat-tempat hiburan malam tak boleh mempekerjakan pramuria dan pramupijat yang terinfeksi HIV/AIDS. Bila ada pramuria dan pramupijat yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka pengelola wajib mengembalikan orang itu ke daerah asal, dengan biaya pengembalian ditanggung pengelola. Bila melanggar, maka bisa kena pidana kurungan enam bulan atau denda Rp 50 juta sebagaimana diatur dalam Pasal 34.
Baca juga : Bali Boyfriend, Temani dan Manjakan Wisatawati Jomblo yang Kesepian
Sumber : detik
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.