Seorang Seniman Perempuan Jepang Di Tangkap karena karya Yang Berbentuk vagina
Seorang Seniman Perempuan Jepang Di Tangkap karena karya Yang Berbentuk vagina
Namanya Megumi Igarashi. Seorang seniman perempuan Jepang yang biasa dipanggil Rokudenashiko ini dikenal sebagai “seniman vagina” di tanah kelahirannya.
Dari berbagai karyanya, seperti lilin berbentuk vagina, mobil-mobilan berbentuk vagina, dan Kayak berbentuk vulva sebagai karya yang ternyata dibuat tahun 2014 itu menjadi kontroversial. Seperti yang dikatakan oleh Rokudenashiko pada Glamour, Kayak tersebut sebenarnya adalah bentuk dari sebuah metafor.
“as a methaporical image of life springing from it,”
Dan dari hasil karya Kayak nya itu sendiri menyebabkan Rokudenashiko ditangkap. Setelah kampanye crowd-funding yang ia lakukan untuk membuat kayak ini berhasil, Rokudenashiko mengirimkan e-mail pada pendonornya berupa data penelitian vulva miliknya (yap, vulva pribadinya) sebagai hadiah yang barangkali berguna jika mereka ingin membuat projek yang serupa. Dari penangkapan karya Kayak ini Rokudenashiko dipenjara selama seminggu.
Setahun kemudiannya, memang naas, ia harus kembali ditangkap karena membuat karya ukiran berbentuk vulva yang sempat dipamerkan di toko dewasa.
Memang sih Rokudenashiko lepas dari tuduhan “menampilkan karya porno”, tetapi Rokudenashiko ditangkap lebih tepatnya karena perbuatannya tahun lalu dengan mengirimkan gambar dan data vulva-nya pada khalayak umum dan pihak penegak hukum memastikan hal itu bisa memancing birahi masyarakat.
Dari kasus penangkapan kedua ini, the Associations of Art Critics di Jepang membantunya dengan mengirimkan surat protes pada pihak kepolisian. Menurut Michio Hayashi,
seorang profesor Sejarah Seni dan Kebudayaan Visual di Tokyo’s Sophia University dan saksi-saksi lainnya yang datang di pemeriksaan pengadilan Rokudenashiko,
ia tidak melanggar hukum atau undang-undang apapun yang berkaitan dengan menyebarkan atau memprovokasi tindakan seksual pada masyarakat.
Undang-undang nomor 175 menyebutkan bahwa:
“A person who distrbutes or sells an obscene writing picture, or other object or who publicly displays the same, shall be punished with improsnment… or a fine. The same applies to a person who possesses the same for the purpose of sale.”
Karena itu Rokudenashiko memilih untuk membayar denda hukum nya daripada harus dipenjara.
Tentunya dengan alasan tertentu, yang ia yakin sebagai usahanya dalam mengekspresikan dirinya perihal isu seksualitas dalam berbentuk karya seni.
“My work is meant to make the female sex organs funny and fun and cute and just generally something we can get a good laugh out of”, katanya pada Glamour.
“Aku tidak bermaksud sama sekali untuk menampilkan karyanya sebagai hal yang provokatif apalagi sebagai bentuk yang bisa menimbulkan birahi masyarakat yang melihatnya.
“Seperti apa yang dijelakan oleh Hayashi, “hal seperti ini tentu seharusnya didiskusikan terlebih dahulu dengan pelbagai diskusi sebelumnya, mulai dari konteks pada produksi karya Rokudenashiko,
distribusi, dan presentasi sebuah karya yang ingin dipublikasikan.
Dan hal ini terjadi pada kasus Rokudenashiko.
Ia telah berhati-hati pada pembuatan karyanya,
kepada siapa ia akan memperlihatkannya dan kepada siapa karya itu akan didistribusikan.”
Kembali lagi pada argumen Rokudenashiko,
“Tetapi pengadilan punya pandangan aneh tersendiri terhadap konsep vagina.
Mereka memiliki pandangan bahwa vagina adalah sesuatu yang meningkatkan birahi pria bagaimanapun bentuknya.
Saya yakin birahi seksual adalah personal, sesuatu yang private.
Kembali pada tiap individu bagaimana mereka melihatnya dan bagaimana mereka mengontrol birahinya.
Pada level ‘mengontrol birahi seksual’
cenderung lebih menakutkan daripada apapun yang saya lakukan dengan karya-karya saya.
Walaupun kasusnya telah ditegakkan, Rokudenashiko, memilih untuk tetap menjalani apa yang telah ia lakukan dengan karya seni nya selama ini. Walaupun ia harus membayar denda hukum–daripada harus dipenjara.
Alasan yang ia miliki sederhana, ia takut kalau kasusnya menghambat masyarakat lain untuk mengekspresikan diri. Apalagi mereka dengan ide kreatif yang sama soal seksualitas sebagai tema nya–atau bahkan mereka para ahli teknologis yang ingin membuat otonomi tubuh manusia dengan karya 3-D.
Terlebih lagi, Rokudenashiko, menjelaskan bahwa di Jepang, manko (vagina) adalah kata-kata yang sangat tabu. Perempuan pun tidak bisa sembarang mengucapkan alat kelaminnya sendiri.
Di acara TV atau radio, perempuan yang mengatakan atau menampilkan kata mano akan dipecat.
Beda dengan pria,chinko (penis) tidak perlu menggunakan sensor dimanapun,
bahkan ada festival tahunan di daerah Kawasaki yang mempertunjukkan penis seperti karnaval dan mengkeramatkan chinko sebagai hal yang suci.
Fenomena tabu yang mengharuskan masyarakat berpikir bahwa manko adalah kata yang kotor dan menijijikan inilah yang menjadikan ekspresi seni Rokudenashiko kontroversial.
Bukan cuma Rokudenashiko, tahun 2014, polisi memaksa untuk menurunkan sebuah karya fotografi
di Ryudai Takano’s Aichi Prefectura Museum of Art exhibit, yang menampilkan foto pria tersebut dengan temannya yang telanjang. Akibatnya, semua karya yang berbau pronografi dan menampilkan alat kelamin harus dtutup dengan kain.
“Apabila alat kelamin dianggap sebagai hal yang menjijikan maka hal itu akan terus menjadi tabu, dan menghambat pemberian pendidikan seks yang layak.
Dari karyanya, Rokudenashiko ingin Jepang dan dunia dapat mendefinisikan seksualitas, birahi dan lainnya sebagai hal yang dapat diperbincangkan agar masyarakat mendapatkan pendidikan seks yang layak.
“I want to see a world where women don’t have to be sad about their vaginas, and where I can be proud and confident about mine.”
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.